Sepatu Merah Tua

Dia berwarna merah tua. Bentuknya simpel saja, tidak ada pita atau hiasan apa pun. Bahannya kulit. Aku tak pernah tahu kulit jenis apa, tetapi bahannya kualitas bagus. Dia sering menemaniku hingga dia sudah sedikit koyak. Aku tak ingat lagi, bagaimana sampai bisa aku membuatnya terluka. Walaupun begitu, dia adalah sepatu terbaikku.

Berapa kali ibuku membelikan sepatu baru, tetapi aku selalu kembali memakai sepatu yang sama di situasi yang berbeda. Mungkin aku terlalu sayang padanya, atau ada ikatan batin antara aku dan dia. Kadang aku merasa tak berdaya meninggalkannya di rak sepatu. Bukannya takut dipakai adikku yang cerewet itu, tetapi aku merasa keberuntungan akan pergi dariku.

Saat-saat tertentu, aku tidak bisa memakainya, di saat itu pula aku merasa gelisah hingga sulit berkonstentrasi. Ketika aku sekolah dulu, misalnya, aku selalu merasa ada yang hilang dalam diriku ketika meninggalkan sepatu merahku di rumah. Untungnya, selama kuliah, aku bebas memakainya kapanpun aku mau.

Sepatu merah tua itu seperti pacarku. Dia selalu setia menemaniku, dan untuk itu pula aku mau setia menemaninya hingga aku tak berpaling pada sepatu lain.

Pemberi sepatu itu mungkin sudah lupa pada sepatu ini, tetapi aku tak pernah. Aku ingat betul kejadian itu, saat sepatu ini dihadiahkan padaku. Hadiah pertama dari seseorang.

***

Waktu itu aku baru memasuki bangku SMA. Ada kakak kelas yang kutaksir, namanya Leon, anak 2 IPA-2.

Pertama kali, aku melihatnya di penutupan MOS (Masa Orientasi Siswa). Sebelum ada pementasan karya anak-anak kelas sepuluh, anak-anak dari berbagai ekstrakurikuler di sekolahku akan menampilkan pertunjukkan guna menarik anggota baru.

Leon adalah anggota ekstrakurikuler musik. Dia menampilkan solo opening sebuah lagu klasik yang tak kuketahui namanya. Barulah diikuti dengan pengiring lain seperti piano, gitar, dan beberapa temannya yang memainkan biola juga. Gesekan biolanya membuat aku terhipnotis. Membuatku terpaku. Membuatku hanyut dalam pesonanya.

Aku tidak pernah menyukai musik klasik. Musik klasik membuatku mengantuk, tetapi kali itu alunan musik klasik membuatku terhanyut. Seakan musik itu adalah musik religius yang selalu menenangkan batin.

Aku, Franda, 15 tahun, jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sejak saat itu, aku tidak pernah berhenti memikirkannya, tetapi aku tak pernah berani menyapanya atau hanya sekadar memberinya senyuman. Aku sama sekali tidak berbuat apa-apa selama setahun, selain mengangguminya dari jauh.

Sampai hari itu datang. Hari itu aku bangun kesiangan, jadi sampai di sekolah sekitar pukul 07.20. Bu Rama yang menjadi piket hari itu memintaku untuk berdiri hormat bendera sampai jam pelajaran pertama selesai, jadi masih ada satu jam lagi. Itu akan menjadi satu jam yang panjang. Sendiri di tiang bendera? Siapa yang ingin?

Sepuluh menit kemudian, aku merasaan ada desahan nafas yang tidak teratur, dan tak lama kemudian ada sosok yang berdiri di samping kananku. Aku menengok, dan menemukan Leon di sampingku. Dia terlihat lelah, habis berlari. Begitu melihatku, dia memberiku senyuman tipis. Aku membalas senyumnya dengan gugup, dan segera berpaling.

Satu jam itu dihabiskan untuk mengobrol. Tentu saja, aku yang menyapanya duluan, dan bilang kalau aku kagum pada permainan biolanya. Aku berani bersumpah, aku tidak pernah mengobrol dengan cowok manapun sedekat ini. Kami bicara soal sekolah, guru, dan biolanya. First impression: ramah, lucu, dan pintar. How perfect he is!

Bel jam pelajaran pertama berakhir dibunyikan. Itu artinya percakapanku dengan Leon berakhir. Aku tak pernah sekecewa itu mendengar bel tanda berakhirnya jam pertama.

Aku tidak meminta nomor handphone-nya, dan dia pun begitu.

Aku kecewa, tapi tidak lama. Kecewaku berakhir saat Leon mendatangiku saat jam istirahat pertama, dia mengajakku makan bareng di kantin. Oh-My-Gosh! Aku malu. Gugup. Teman-teman menatapku iri dan bingung, tetapi aku berusaha menghindari tatapan mereka, dan memoles senyuman hangat untuk Leon.

Makan bareng itu berakhir pada pertukaran nomor handphone. Akhirnya!

Semenjak itu, SMS atau teleponnya menghujani handphone-ku. Makan siang di kantin atau mengantariku pulang hampir rutin dalam sebulan terakhir. Sampai bulan kedua, barulah Leon berani mengajakku nonton di bioskop.

"Kencan pertama itu harus perfect, Nda. Apa salahnya sih kalo lo dandan?" ujar Della, teman dekatku sejak masuk SMA.

"Ngaco lo, gue kan nggak pernah dandan, Del."

"Nggak usah yang full treatment kali. Maksud gue, lo pake bedak sama lipgloss aja."

"Gue. Nggak punya. Lipgloss. Titik." sahutku sebal. Apa-apaan sih Della ini? Dia kan tahu, aku tidak pernah dandan, bagaimana aku bisa mendadani diriku sendiri sementara alatnya saja tidak  ada?

"Kalo itu masalah lo, gue punya kok, Nda. Gimana?"

Dan, jadilah, sepulang sekolah, Della menjelajahi lemari bajuku untuk membantu mencari baju yang dianggapnya perfect dan mendandaniku dengan metode dandan yang dia ketahui. Dia memilihkanku baju sabrina putih gading, dan rok bunga-bunga, pemberian ibuku saat baru masuk SMA. Aku sama sekali tidak kecewa dengan pilihan itu, tetapi aku mulai gelisah ketika Della memakaikanku sepatu hak tinggi berwarna krem yang biasa aku kenakan untuk pesta.

"Harus ya, Del?"

"Yup. Gue baca di majalah, kalo cowok itu suka sama cewek yang pake high heels, Nda. Jadi, nggak ada salahnya kan kalo lo coba?"

Aku mendesah, tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya bisa mengangguk pasrah dan memakai sepatu itu tanpa menoleh lagi pada Della.

Leon memuji penampilanku hari itu. Aku pun memuji penampilannya yang berbeda dari biasanya. Kemeja dan jeans. Dia terlihat lebih dewasa daripada usianya.

Kencan hari itu berjalan selancar jalan Jakarta di hari Lebaran, sampai tiba-tiba saat kami akan keluar dari restoran, aku mendengar sesuatu yang retak dari bawah. Aku tak tahu bagaimana bisa hak sepatu kananku retak! Aku menggigit bibir bawahku, kemudian berkata gugup pada Leon bahwa sepatuku rusak.

Leon berusaha menghiburku dengan memintaku duduk di kursi tunggu, sementara dia membeli es krim, tetapi sehabis itu dia menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu apa yang dia lakukan. Semoga saja bukan meninggalkan teman kencannya di saat seperti ini. Ah, memangnya Leon berpikiran sama bahwa aku... teman kencannya?

Tak lama setelah es krim vanilaku habis, Leon datang dengan terengah-engah dengan membahwa sesuatu di tangannya. Dia berjongkok dan membuka sepatuku, sebelum aku berkata apa-apa, secepat kilat ada sepasang sepatu yang menempel di kakiku. Sepatu itu berwarna merah tua. Bahannya kulit. Dia begitu pas di kakiku. Jangan-jangan Leon peramal hingga bisa tahu ukuran kakiku.

Melihat tanda tanya di mataku, Leon tersenyum. Dia mengatakan bahwa dia membelikan sepatu itu sebagai ganti sepatuku yang rusak.

"Anggap saja hadiah dari gue. Semoga lo suka, Nda." ujarnya tersenyum lembut. Ah, dia selalu bisa membuatku meleleh dengan senyumannya.

Tentu saja, Leon. Bagaimana aku tidak suka pemberianmu? "Kok lo bisa tahu ukuran sepatu gue?"

"Cuma nebak," jawabnya sambil terkekeh.

Sejak itulah sepatu itu menjadi favoritku, karena itu adalah pemberian Leon yang pertama di kencan pertama. Dia selalu kupakai di setiap kencanku dengan Leon yang akhirnya berakhir menjadi pacar pertamaku juga. Leon, selalu menjadi yang pertama untukku. Dan, aku juga yang menjadi orang pertama yang memanggilnya dengan Noel, kebalikan dari namanya.

Dengan Noel, aku merasa akan baik-baik saja. Dia selalu mendukungku, menemaniku di kala aku senang, bosan, atau kecewa. Dia juga bisa menenangkan emosiku yang kadang meletup-letup. Dia mampu menjadi penyeimbang dalam hidupku seakan aku tidak butuh apa-apa lagi, selain dirinya.

***

Hari itu Noel mengajakku bertemu dengan keluarganya. Ada ayahnya, ibunya, juga kakak perempuannya, Tari. Noel menyerap kegugupanku untuk bertemu dengan keluarganya dengan sebuah kecupan di keningku, pelukan hangat, dan sebuah kalimat yang tidak pernah kulupakan, "Nda, kamu nggak perlu takut untuk bertemu siapapun, termasuk keluarga aku. Asal kamu menjadi diri kamu aja, itu udah cukup."

Ya, mantra itu menjadikanku lebih tenang dan berani 'menghadapi' keluarganya. Aku lega, mendapat sambutan hangat dari keluarganya.

Setelah makan malam berakhir, Noel mengajakku ke taman belakang rumahnya. Dia ingin bicara, katanya.

Dia mengajakku untuk duduk di bangku taman. Lama dia hanya menatap langit yang malam itu dihiasi bulan sabit dan tidak berkata sepatah katapun.Ia baru sadar dari lamunannya setelah aku memanggilnya.

Ia menatapku dan meremas tanganku dengan lembut."Sebelumnya aku nggak pernah tahu apa cita-citaku, makanya aku belum apply formulir di kampus manapun. Orangtuaku terus mendesak aku, Nda, tetapi aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan untuk hidup aku."

Oh, jadi itu yang membuat Noel kelihatan lesu beberapa hari ini.

Aku meremas tangannya juga. "Noel, kamu nggak usah buru-buru. Semua orang pasti bakal tahu kok apa yang harus kita lakuin buat hidup. Ada yang cepet, tapi ada juga yang lama."

"Tapi..."

Aku tersenyum. "Kamu cukup perlu denger apa kata hati kamu."

Noel mengangguk, kemudian merengkuhku dalam pelukannya. "Makasih ya, Sayang."

***

Seminggu sebelum pengumuman kelulusan, Noel mengajakku ke tempat favorit kami. Aku tahu ada yang ingin dia bicarakan mengenai masa depannya, cita-citanya yang telat ia ketahui.

"Nda, aku pengen jadi sutradara film," katanya sambil menatap mataku dengan wajah serius.

Aku sedikit kaget, tetapi akhirnya menampilkan senyumku juga. "Sutradara film? Itu bagus, Sayang. Terus kamu mau kuliah di mana?"

Noel menunduk, dan menghela nafas. "Aku... aku mau kuliah di Amerika, Nda."

Mulutku menganga, kaget. Sangat kaget. Amerika? Bukankah itu sangat jauh dari Indonesia? Kini giliranku yang menghela nafas. Bukankah skenario ini hanya ada di novel-novel, cewek yang ditinggal pacarnya kuliah ke luar negeri? Kenapa skenario ini terjadi padaku?

Tapi aku sama sekali tidak menyuarakan kegelisahanku. "Apa pun keputusan kamu, aku tetap bakal dukung kamu, Noel."

"Tapi... aku nggak mau pisah sama kamu, Sayang." Baru kali itu, aku melihat tatapan Noel yang seperti itu—sedih dan tidak berdaya.

Aku mengelus punggung tangannya. "Aku sayang sama kamu, Noel. Makanya aku nggak pengen kamu terperangkap di sini sama cita-cita yang tertunda."

Noel diam.

"Aku nggak pengen pisah sama kamu, tapi cita-cita kamu juga penting, Sayang. Kita kan masih bisa chatting atau apalah di dunia maya itu."

Noel tersenyum lemah.

Jeda sejenak. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Noel-lah yang membuka percakapan kembali.

"Nda.." panggil Noel lembut. "Kamu mau kan nunggu aku sampai lulus?"

Apa maksudnya?

"Kita break dulu sampai aku lulus, gimana?"

APA?!

"Kamu.. serius?"

Noel mengangguk.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menyemangatinya. Aku bersikap seolah-olah aku tidak apa-apa, tapi... mana mungkin aku tidak apa-apa?

Saat di bandara, dalam pelukan terakhir itu, Noel berkata pelan, "Makasih, Nda, kamu berusaha ceria biar aku tenang ninggalin kamu. Jaga diri kamu baik-baik, Nda."

Hari itu menjadi hari terakhir sepatu merah tuaku bertemu dengan pemberinya. Tak seperti dia yang tegar menghadapi pemberinya, sesudah pesawatnya take off, air mataku berlomba-lomba keluar dari sumbernya, tanpa bisa kuhentikan. Aku kehilangan, kehilangan pemberi sepatu merah tuaku. Dia pergi, dan belum tahu kapan akan kembali.

***

"Halo..?"

"Franda, kamu di mana? Nanti kamu urus si Emma deh, biar Sani yang urus Daniel. Emma nggak mau sama orang lain, selain kamu katanya."

Klik. Telepon langsung diputus sepihak. Telepon di Sabtu siang bolong dari bos itu selalu menyebalkan.

Aku memang meminta off seminggu sekali, entah hari Sabtu atau Minggu, tetapi kalau pekerjaan tidak sedang menumpuk biasanya dia meliburkanku dua hari. Namun, ini sudah minggu ketiga aku tidak mendapat jatah libur sama sekali, karena banyaknya pekerjaan.

Belum sampai lima belas menit perjalananku, Rana, bosku, menelepon lagi. Katanya dia memintaku untuk membawa sepatu di kantor, karena sepatu yang dibawa oleh Sani sama sekali tidak menarik perhatian Emma. Terpaksa aku memutar arah. Lokasi syuting memang berbeda dengan arah kantorku.

Sudah setahun aku menjadi asisten fashion stylish untuk perfilman. Tadinya aku berencana untuk menjadi desainer, tapi tawaran menjadi fashion stylish juga menggiurkan, jadi setelah lulus kuliah di Singapura, kerja di sana, tetapi dengan orang Indonesia juga yang membantu perfilman asing.

Tampaknya, aku tidak mungkin kembali ke kantor. Jalanan selalu padat di hari weekend. Mendadak saja ada ide yang muncul di otakku. Kebetulan ada sepatu menganggur di mobil. Warnanya merah tua. Bahannya kulit. Ya, dia sepatu favoritku, tapi siapa tahu favorit Emma juga.

Tiga puluh lima menit kemudian aku sampai di lokasi syuting yang langsung disambut omelan Rana yang mengatakan aku lamban dan sebagainya. Sebetulnya dia bos yang baik, hanya saja terkadang bisa menjadi galak kalau didukung dengan keadaan membuatnya sakit kepala.

Untungnya, omelan Rana berakhir saat mendengar pekikan gembira dari Emma yang menyukai sepatuku. Untungnya, aku sudah memperbaiki sepatuku. Koyaknya sudah kuperbaiki dengan mencari kulit yang hampir sama dan didesain ulang sedikit hingga menjadi lebih banyak rimpel.

Syuting berjalan hingga menjelang sore. Setiap break aku mendengar celoteh Emma, artis asal Amerika itu, tentang sepatu yang indah. Saat aku bilang itu sepatuku, dia langsung mengintrogasiku dengan berbagai macam pertanyaan.

Aku dan Emma memang sempat bertemu dalam berbagai kesempatan, mungkin itulah yang membuat Emma mempercayakanku sebagai fashion stylish-nya, dan menjadi akrab denganku.

Saat aku bilang pemberinya, Emma tersentak kaget. "Leon Pratama? Kau yakin itu namanya? Aku kenal dengannya."

Dari situlah aku tahu bahwa Leon yang sama sekali tidak ada kabar setelah dia pergi, sekarang menjadi asisten sutradara yang cukup handal. "Kudengar sebentar lagi dia dipromosikan jadi sutradara."

Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku kecewa dengan Noel. Dia tidak pernah memberi kabar padaku, tidak pernah kembali ke Indonesia. Namun, aku lega mendengarnya, sebentar lagi Noel akan menggapai cita-citanya.

***

Dua bulan sejak itu, ada telepon masuk dari nomor asing. Aku sempat ragu untuk mengangkatnya, tapi siapa tahu itu telepon dari klienku yang mengganti nomornya.

"Hello..?"

Lama tak ada jawaban dari seberang.

"Hello? May I know who is this?"

"Nda...?"

Ah, suara itu!

"Apa kabar, Nda? Kamu masih ingat aku?"

Noel. Aku tidak pernah lupa suara itu.

"Aku... baik, Kamu gimana?"

Bagaimana Noel mendapatkan nomorku? Apakah ia sudah pulang? Setahuku yang tahu nomorku hanya teman-teman dekat SMA juga keluargaku.

"Aku baik. Kamu lagi di mana? Aku kangen sama kamu, Nda."

"Kamu sudah di Jakarta?"

"Aku dengar kamu di Singapura, jadi aku ke sini."

Apa?!

Kami berjanji bertemu di kafe favoritku. Dia sudah duduk di meja yang agak pojok ketika aku datang. Dia masih sama. Hanya lebih tinggi sedikit daripada terakhir kami bertemu.

Awalnya, percakapan kami sedikit kaku, tetapi akhirnya mencair saat kami membicarakan mengenai zaman-zaman SMA dulu. Percakapan tentang masa lalu selalu membuat orang hanyut akan masa-masa yang indah dan lucu. Sampailah kami pada percakapan itu, mengenai perpisahan kami.

"Maafin aku, Nda."

Aku menggeleng pelan, dan tersenyum tipis. "Kamu nggak salah kok, kenapa mesti minta maaf?"

"Rencananya memang aku mau pulang setelah lulus—sesuai janjiku sama kamu—tapi tawaran jadi asisten sutradara datang bersamaan aku dapat kabar kalau kamu kuliah di Singapura. Jadi, aku terima tawaran itu."

"Kamu... tahu dari mana?"

"Della. Aku hubungin dia, tapi aku minta dia buat nggak bilang apa-apa sama kamu."

Aku menunduk. "Kenapa kamu nggak bilang?"

"Aku pikir, lebih baik kita ketemu di saat kita udah nggak terbebani sama jarak," jawab Noel pelan.

"Tapi... seharusnya kamu percaya sama aku, Noel. Aku pengen kita buat keputusan yang menyenangkan hati kita berdua, bukannya sepihak."

"Maafin aku, Nda."

"Noel, kita pernah punya cerita indah, tetapi cerita itu nggak bisa lagi mengikat kita sekarang," kataku sambil menatap matanya. Aku beranjak dari kursiku. "Maaf, aku harus pergi."

Sebelum aku benar-benar pergi dari kafe, aku merasa namaku dipanggil. Aku menoleh, dan menemukan Noel berdiri berjarak hanya satu meter di depanku.

Dia tersenyum. "Makasih Franda buat semuanya. Aku nggak akan pernah lupa sama apa yang pernah kita jalani."

Aku membalas senyumnya, dan melirik sepatu merah tuaku. "Makasih juga, Noel, terutama untuk sepatu ini."

Noel melirik sepatu itu. Ekspresinya kaget, tapi dia mengembalikan senyumnya dalam sekejap.

Waktu tidak akan bisa kembali, dan kita tidak perlu terpaku apa yang sudah tidak bisa diperbaiki. Begitu kan, Noel? 


written by: J.A.

Comments

  1. Ceritanya menarik, endingnya sengaja dibikin gitu yah~?

    ReplyDelete
  2. Jadi inget dulu pernah punya barang kesayangan juga, krn trlalu sering dipake jd belel skrg~

    ReplyDelete
  3. Hmm, sebenernya endingnya blm terpikir saat pertama kali nulis, cuma tiba-tiba muncul ide buat bikin ending begitu hehe How? Endingnya ga seperti yg u pengen? Haha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts