Netral #6: Kompromi

Source Image: http://bryantmcgill.com/20150119225935.html
Dalam hidup, kita sering sekali mendapati diri kita kecewa dan marah terhadap sesuatu yang tidak sesuai berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya, gagal mendapat nilai A, cinta yang bertepuk sebelah tangan, orangtua yang tidak bisa membelikan barang-barang yang kita inginkan. Wajar saja dong, kita bete?

Bete belum ada yang melarang kok. Hanya saja lama-lama bete itu jadi kebiasaan yang jelek. Sering banget keluarnya, bahkan tanpa kita sadari.

Saya rasa, itulah mengapa penting sekali yang namanya kompromi. Kompromi itu artinya kita menerima keadaan yang sesuai dengan keinginan kita. Kompromi membuat kita akan memahami dengan situasi dan orang lain. Bahwa apa yang kita inginkan sering kali bukan yang kita butuhkan atau bertabrakan dengan prinsip orang lain.

Prinsip. Setiap orang punya itu. Kita punya gaya hidup atau cara hidup kita sendiri. Kita punya priortas hidup masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Kompromi adalah obat di tengah-tengah perbedaan.

Namun, tetap saja perlu digarisbawahi kompromi ini tidak berarti kita mengalah dengan orang lain. Bukan juga berarti kita satu level menang di atas orang lain.

Saya, kamu, mereka: tidak ada menang-kalah. Saya anti viktimisasi ("Gue bener, lo salah!" atau "Lo bener, gue salah." Itu nggak ada di kamus saya).

Jadi, kompromi itu membesarkan hati untuk menerima perbedaan prinsip kita dengan orang lain. Biarkan mereka mempunyai selera berbeda dengan kita. Biarkan prioritas mereka berbeda dengan kita. Biarkan mereka punya cara sendiri untuk menghadapi masalah mereka.

Buat saya, kompromi ini erat kaitannya dengan memaafkan. Sekali lagi, memaafkan juga berarti mengalah untuk orang lain atau menang dari orang lain. Ketika kita berkompromi dengan orang lain atau situasi, kita belajar untuk menerima perbedaan, artinya rela orang lain menjadi dirinya, dan kita tetap menjadi diri kita. Rela situasi yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, karena mungkin itu adalah yang kita butuhkan (Setiap orang memiliki proses yang berbeda, bukan?).

Oleh karena, kompromi atau memaafkan adalah merelakan, maka praktiknya ya sulit. Masih terbentur ego kita untuk menerima keinginan yang tak tercapai dan untuk memaafkan situasi yang tak sesuai.

Kompromi juga melepaskan masa lalu yang tak mungkin kembali dengan memaafkan apa pun yang terjadi saat itu sehingga kita bisa berdamai dengan masa lalu. Yang kenyataannya juga sulit.

Kalau kata Ajahn Brahm, "Let go your ego."

Comments

Popular Posts