Kalau Ibu Kartini Masih Ada..

Source image: unsplash.com
Saya rasa, kalau Ibu Kartini hadir di tengah kita saat ini... Dia akan jadi aktivis perempuan yangmendeklarasikan suaranya lewat demonstrasi. Namun, dia akan sangat menentang demostrasi berbau agama dan politis seperti yang terjadi kemarin-kemarin. Dia pasti penulis buku legendaris layaknya Raditya Dika. Lalu, kalau dia tipe yang pede di kamera, dia akan punya acara talkshow sendiri semacam Oprah Winfrey. Bisa jadi dia juga seorang politikus.

Sayangnya... Beliau hanya bisa menginspirasi perempuan Indonesia sampai 1904 saja.

Dari film Kartini, saya bisa merasakan jeritan frustasi Kartini sama 'pingitan' dan 'menikah', bahwa perempuan seharusnya belajar untuk bisa maju. Bayangin aja dipingit sejak pertama kali haid sampai waktunya menikah. Kalau itu diterapkan di dunia sekarang, nggak kebayang. Saya harus diem aja di kamar dari lulus SD sampai nunggu ada yang melamar.

Saya sepakat sekali dengan Kartini yang menjadikan membaca sebagai landasan perempuan Indonesia bisa maju. Sebab, membaca membuat kita menjadi tahu banyak hal. Kita tidak terjebak dalam sudut pandang kita sendiri. Kita bisa lebih mengerti banyak perbedaan di dunia ini dan kenapa kita harus menghargainya. 

Nyatanya, semakin hari Indonesia semakin terlihat jauh dari kata menghargai perbedaan, mungkin masih ada untuk sekian persen. Bisa jadi inilah akibat dari angka keterbacaan masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga mudah sekali putus sumbunya. Ya, Indonesia bisa memproduksi buku sebanyak-banyaknya, pesta buku murah di mana-mana, tapi pertanyaannya, masihkah orang yang haus membaca buku? Dan, apakah dia mudah percaya opini si penulis atau giat menggali ilmu dari buku lain?

Ada hal lain yang saya lihat dalam film Kartini. Saya jadi tahu bahwa wewejangan 'perempuan harus bisa masak, maka suami betah di rumah' itu sudah menyebar sejak era itu. But you know what, mirisnya di era itu juga, suami-suami yang udah beristri, bisa meminang perempuan lain kalau dia mau dan mampu. Seharusnya, wewejangan itu nggak berlaku. Herannya, wewejangan itu masih saja terdengar sampai detik ini. Ya. Ucapan ibu-ibu yang ada di era 1800-1900 masih terngiang di era 2017 ini. Buat saya, ini salah satu indikasi bahwa cita-cita Kartini belum bisa terwujud.
Fine. Perempuan bisa masak punya nilai lebih, tapi nggak terus menjadi patokan suami 'betah di rumah'.
Di era millennium begini, perempuan Indonesia seharusnya bisa memahami bahwa laki-laki itu nggak bisa 'diikat' dengan kemampuan memasak, mengurus anak dan suami. Dari yang saya baca dan saya rasa masuk akal, rumah tangga itu bisa dipertahankan karena dua orang itu sama-sama berkomitmen menjaganya. Kalau salah satu dari mereka tidak saling percaya, menghormati, menghargai pasangannya masing-masing, perlahan rumah tangga itu runtuh. Butuh dua orang yang bisa membuatnya terwujud.

Yang mengerti hal-hal seperti ini mungkin banyak. Tapi saya yakin, banyak juga yang didikte sama  orangtuanya untuk:
1. 'Sok jual mahal' sama laki-laki untuk mendapatkan hatinya.
2. Bersolek untuk mendapatkan perhatian dan kesetiaan laki-laki.
3. Belajar masak untuk menyenangkan suami di rumah.
4. Istri harus, wajib, kudu menurut apa kata suami.

Buat saya, terutama poin empat itu akan sulit diwujudkan di Indonesia ini yang mayoritasnya masih mendasarkan agama untuk metode pelajaran, termasuk urusan cinta. Jadi, lupakan saja poin ini jika ingin disandingkan dengan kepentingan feminis.

Saya rasa, kalau Ibu Kartini hadir di tengah kita saat ini... Dia akan sedih, tapi dia tidak akan berhenti berkarya.

Pada akhirnya, masih butuh 1000 tahun lagi untuk melihat apakah cita-cita Ibu Kita Kartini bisa terwujud..

Comments

Popular Posts