Maaf, Mimpiku Berbeda :D

Hampir semua orang mengharapkan saya menjadi jurnalis di K****s, hanya saya sendiri yang keukeuh bilang nggak mau. Sontak mereka kaget, dan melontarkan pertanyaan yang wajar dan mendasar, "Loh, kenapa? Kamu kuliah di kampus milik K****s kan? Harusnya kerja di K****s donk!" Ada lagi seorang teman saya berkata, "Lu enak ya nantinya bisa kerja di K****s." Man, nggak semua orang yang kuliah di sana pengen jadi jurnalis di K****s. (Sorry ya, saya menghapus mimpi orang-orang yang pernah berkata seperti itu sama saya.)

Bukannya saya menghilangkan kesempatan emas atau bertindak bodoh, tetapi saya mengerti diri saya bahwa jiwa saya tidak berada di K****s. Sok tahu? Mungkin. Saya memang nggak pernah kerja jadi seorang jurnalis apalagi kerja di media raksasa itu. Saya memang anak 19 tahun yang belum kerasnya dunia kerja. Kenapa saya berani-beraninya bilang jiwa saya bukan di sana? Karena saya punya cita-cita sendiri. Ya, naifnya bisa dibilang kalau mimpi saya jauh lebih penting daripada mewujudkan karier yang diidamkan orang-orang yang pernah menegur saya itu. (Saya tahu, mereka berkata seperti itu kepada saya karena mereka tahu gaji yang akan saya peroleh bisa mencapai angka dua dijit—pastinya ini bisa dibilang angka kesuksesan seseorang) Namun, ini kehidupan saya. Saya berhak mengejar mimpi saya sendiri.

Mimpi saya dalam 4 atau 5 tahun belakangan ini mungkin sedikit berubah ketika saya akhirnya memutuskan untuk masuk jurusan Jurnalistik ketika saya masih duduk di kelas 3 SMA. Agaknya beberapa teman saya sudah menduga bahwa saya akan memilih jurusan itu. Hanya saja, orangtua saja sedikit meragukan saya. Tentu saja, sebagai orang awam (mereka sudah lama tidak berada di dunia pendidikan, bisa saya sebut orang awam bukan?), orangtua saya menduga saya akan menjadi seorang jurnalis di K****s.

Bukannya apa-apa, tuntutan menjadi jurnalis itu sangat berat dibanding menjadi seorang penulis fiksi seperti mimpi saya sejak awal. Pengetahuannya bukan harus sekadar luas, tetapi pengetahuannya harus mendalam sehingga asyik diajak diskusi berbagai macam topik. Jujur, menurut saya itu berat. Saya mungkin saja bisa berbicara panjang lebar tentang suatu topik, namun berbagai macam topik? Tunggu dulu. Ini bukan masalah tidak mau belajar atau bersikap pesimis untuk menjadi jurnalis, tetapi saya tahu diri saya belum cukup mampu belajar sesuatu yang tidak saya sukai. Menjadi jurnalis berarti harus siap menggarap topik yang saya tidak sukai, misalnya politik.

Sebenarnya setelah belajar dasar politik di semester satu, saya menjadi mengerti seluruh hal di dunia ini tidak lepas dari yang namanya politik. Tapi toh saya nggak bisa terlalu nyaman untuk berdekatan dengan topik itu. Mengikuti perkembangan berita okelah, tetapi membahas berita mengenai politik? *Bukan saya banget* Menjadi publik saja jenuh mendengar berita yang itu-itu saja apalagi menjadi si penulis? Bisa mati bosan saya Haha. Ehem, saya bukan menghina kalau politik itu membosankan loh. Hanya saja itu adalah salah satu topik yang saya hindari untuk saya tulis secara mendalam. See? Apakah saya cocok jadi jurnalis? Pasti pembaca geleng-geleng kan?

Jadi, saya rasa, saya lebih cocok menjadi jurnalis media cetak yang tidak berbau politik, ekonomi, dan hukum. Walaupun katanya itu bukanlah jurnalis sejati, saya tidak peduli. Yang jelas, saya tidak bisa bekerja sebagai jurnalis serius, selain kendala pengetahuan, saya juga agaknya kurang yakin bisa bekerja di bawah tekanan dalam 24 jam dan 7 hari seminggu. Setiap orang punya kekurangannya masing-masing, bukan? :D

Sekarang dengan lantang saya berkata, "Saya pengen kerja di Magazine Editorial!!" Atau, "Saya pengen kerja di Publishing!!" Atauuu.. "Saya mau jadi Wardrobe Sylist!!"Boleh kan? *winkwink* (J.A.)


NB: Tulisan ini saya buat setelah membaca postingan teman saya, @maaarsyaaa di blogspotnya :)

Comments

Popular Posts