Cerpen Tuntutan Tugas :p


Hanya Dya

Berapa banyak dari makhluk di dunia mengerti makna hidup? Tidak banyak. Ada yang mencari tahu dan ada yang tidak. Odilia tidak termasuk keduanya. Sejujurnya, Odilia bahkan tidak mengerti dengan hidupnya sendiri. Odilia memang merasa hidupnya baik-baik saja, hanya saja pada titik tertentu ia merasa hidupnya menoton seperti televisi yang hitam putih. Ia memiliki pekerjaan yang bagus dengan gaji yang memadai. Orangtuanya baik padanya. Teman? Oke, lupakan satu ini. Odilia tidak ingin memiliki teman. Sebab, teman yang adA dalam suka dan duka tak akan ada—dalam kamusnya. Pandangan ini otomatis membuat dirinya anti-teman atau anti-cinta. Mungkinkah ini yang hilang dari kepingan hidupnya? Pertanyaan itu kemudian terjawab ketika Odilia bertemu seseorang yang bernama Dya.
“Maaf, Mbak, jangan mengambil gambar ke arah sana.”
Odilia menoleh ke asal suara itu. Seorang wanita bertubuh tinggi dan ramping menatapnya dengan khawatir. Rambutnya yang hitam panjang diikat satu. Lehernya dilingkari kamera LSR. Dari penampilannya yang kasual, Odilia dapat menduga tujuan mereka sama.
“Memangnya kenapa?”
“Di sana adalah kedutaan Amerika. Kita tidak boleh mengambil gambar ke arah sana, Mbak. Nanti kameranya bisa disita sama petugas, soalnya dikira mata-mata.”

********

Wanita itu mengulurkan tangannya pada Odilia. “Oh ya, namaku Dya. Namamu siapa?”
Dahi Odilia berkerut. “Hanya 'Dya'?”
Dya tertawa kecil, lalu dilanjutinya dengan sebuah anggukan mantap.
“Odilia.” ujar Odilia sambil menyambut tangan Dya yang hangat.


********


“Kamu tahu nggak, rasanya mimpi bisa kenal sama kamu, Dya,”
“Mungkin. Aku juga merasa begitu,” gelak Dya. “Kalau ini adalah mimpi, aku tak pernah ingin bangun lagi, karena aku tahu kamu itu bagian diriku yang hilang.”


********

“Mau aku ajak lihat calon yang potensial?” tawar Dya sambil menaruh adonan browniesnya ke dalam oven. Dya memang hobi memasak. Odilia yang semula berasa mendapat angin segar dalam variasi makanannya, kini ikut membantu Dya sebab wanita itu tak puas melihat Odilia yang hanya ongkang-ongkang kaki sementara dirinya harus menyiapkan makanan sendirian.
“Kenapa nggak buatmu saja?” Odilia malah bertanya balik. Ia kemudian mencomot brownies yang telah berhasil ia panggang sebelumnya. Rumah Dya memang surganya makanan. “Ah, kamu ini, pintar mengalihkan pembicaraan.”
Odilia tertawa. “Aku serius, Odilia.” Odilia mengembalikan mimik seriusnya yang dibuat sedemikian rupa agar dirinya tak tergelak kembali. “Aku juga serius, Dya.”
“Besok. Pukul 6.” ujar Dya tegas dan pendek. Tanda ucapannya tak mau dibantah lagi. Aura kepemimpinannya memang cukup kuat hingga membuat Odilia mengangguk pasrah.


********

Awalnya Odilia memegang kendali percakapan sehingga terkesan kaku dan satu arah, tetapi akhirnya Sho mulai membuka dirinya. Ia bercerita tentang masa sekolahnya, keluarganya, kerjaannya, makanan kesukaannya. Dya benar. Sho tidaklah seburuk yang ia kira, tetapi apakah pria itu berpikiran sama? Menjalin hubungan dengan seorang wanita di usianya saat ini pastinya serius. Apakah dirinya cocok dan mampu mendampingi Sho? Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya. Membuat selera makannya sedikit hilang.
“Odilia, bisakah saya mengenalmu lebih dalam?”
Genggamannya tak lepas. Nafas Odilia tertahan. Apa? Apa yang harus diucapnya? Mendadak lidahnya kelu. Otaknya seperti berhenti berfungsi. Debar jantungnya meletup-letup.

********

“Mungkin dia pernah datang ke hotel, tetapi aku kan nggak inget sama semua pelanggan, Sayang.”
Jika apa yang dikatakan Dya adalah benar, jelas tidak mungkin Dya hanya datang sekali atau dua kali ke restoran tempat Sho bekerja. Lalu, kenapa Sho tidak mengenalnya? Apakah Dya berbohong? Ataukah hanya Sho yang lupa?

********



Wanna read more?
Feel free to ask me! :)

Comments

Popular Posts