Behind the Scene dari Sebuah "Jalan Kebahagiaan"

Mood saya Selasa siang itu sedang buruk. Rencana yang sudah saya rencanakan hancur bersama gelombang suara di telepon itu. Ya, semua berawal dari telepon itu. Telepon saya dengan perusahaan tempat narasumber saya bekerja.
Tugas mengharuskan saya untuk membuat profil sebuah media. Nama perusahaan sudah diundi terlebih dahulu. Saya dan kedua teman saya yang lain tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali memenuhi wawancara demi membuat profil tersebut.

Sebelumnya, saya sudah mencetak sebuah surat yang siap dikirim kepada narasumber saya. Masalahnya, saya tidak tahu harus mewawancarai siapa. Pihak yang harus saya wawancarai adalah seorang atasan yang mengerti sejarah perusaahan media tempat dia bekerja. Saya memiliki dua nama. Sayang sekali, nama itu tidak mungkin saya jangkau.

Jadi, saya memutuskan untuk menelepon seminggu setelah surat itu sudah di tangan.

Awalnya, sambutan dari operator sangat hangat mendengar nama universitas saya. Universitas saya dan media itu bernaung dalam sebuah perusahaan. Akan tetapi, ketika telepon kemudian dioper kepada sebuah suara alto, saya mulai agak gelisah. Nadanya memojokkan saya. Seakan, dia ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan telepon itu karena masih banyak telepon yang mengantri untuk dijawab.

Puncaknya, saat saya menginterupsi ucapan wanita itu. Dia menegur saya. "Halooo.. kamu dengar saya dulu. Saya belum selesai bicara, tapi kamu sudah potong. Gimana kamu bisa tahu? Blablabla.."

Ucapan itu agaknya menohok saya. Jadi, saya diam dalam kesal. Sebab, wanita itu mengulang kata yang sama membuat saya bosan, apalagi tidak sampai pada titik inti persoalan.

Di ujung pembicaraan, dia menyuruh kami untuk mengirimkan surat lewat fax dengan data lengkap: tanggal dan waktu wawancara, topik wawancara, juga nama dan nomor yang bisa dihubungi. Ini artinya, saya perlu membuat ulang surat pengajuannya. How great, Ibu!

Jadi, saya dan teman saya pontang panting mencari sekertaris Kaprodi atau Dekan kami untuk mencetak ulang surat. Hal inilah yang sebenarnya saya hindari. Selain Ibu yang tadi menjawab telepon saya, dia juga tidak pintar melayani percakapan seorang mahasiswa/i. Apalagi membuat ulang surat. Bah! Lebih baik saya ketik ulang surat itu. Saya mengedit surat dari dosen saya yang saya format seperti surat yang telah dicetak si sekertaris itu. Untungnya, ini sangat membantu proses cetak ulang surat permohonan saya.

Petir kencang menyambar langit di tengah-tengah proses pembuatan ulang surat itu. Ini pertanda buruk. Benar saja, hujan mulai mengguyur daerah kampus. Belum cukup dengan itu, ternyata Kaprodi kami tidak ada di tempat, padahal kami memerlukan tanda tangan dan cap kampus sebelum meng-fax-kan surat itu.

Tepat, sebelum saya pulang, ada getar dari ponsel saya. Ternyata benar dugaan saya, SMS dari Kaprodi saya. Dia mengatakan, dia sudah selesai dengan urusannya. Dengan cepat saya membalas bahwa teman saya akan meminta tanda tangannya. Untungnya Beliau tidak keberatan.

Saya menghubungi teman saya meng-handle tanda tangan dan cap dari kampus dan memintanya sekalian untuk langsung meng-fax surat itu ke media yang bersangkutan agar segera mendapat jawabannya. Teman saya setuju, dan saya pun pulang dengan shuttle bus yang saya tunggu sejak tadi.
Saya menyempatkan diri untuk membeli beberapa roti untuk dimakan besok, barulah saya pulang dengan angkot berwarna biru. Namun, betapa kagetnya saya ketika ada seorang penumpang yang familiar naik dan duduk tepat di hadapan saya. Dosen saya. Dosen mata kuliah yang tugasnya membuat kepala saya hampir pecah tadi. Saya menyapa dia, dia membalas sapaan saya. Namun, saya yakin dalam hati dia bertanya-tanya siapa cewek berkacamata di depannya ini. Tapi saya hargai dia, dia berbicara seakan-akan kami akrab, seakan-akan saya salah satu mahasiswi yang dikenal baik olehnya.

Saya memulai percakapan dengan menanyakan apakah dia sering naik angkot. Hati saya penasaran, apakah seorang dosen seperti dia juga 'merakyat'? Maksud saya, saya yakin dia bukan dari golongan yang menggantungkan diri pada uang karena sulitnya perekonomian era ini. Orang seperti dia, wajar naik mobil setiap harinya. Tapi... dijawabnya, “Biasa saya naik shuttle dari kampus, terus naik ojek sampai depan. Cuma tadi kan hujan, jadi saya malas naik ojek.”

Jadi, dosen ini tidak membawa kendaraan pribadi, apa pun?

Dia bercerita bahwa, rumahnya di Pondok Labu, dan menjangkau kampus dengan naik bus yang disambung dengan ojek. Wah, benar-benar dengan dosen ini. Saya memang kagum padanya, percakapan ini menambah nilai plusnya di mata saya.

Apalagi saat dia membolehkan saya mewawancarai wartawannya ketika narasumber saya tidak bisa diwawancarai. “Asal dia tahu (sejarah dan profil media) nggak apa-apa,” Begitu katanya.

Ketika tujuan sudah makin dekat, saya mengambil uang dari saku tas saya. Entah mengapa yang keluar dari sana adalah selembar lima ribuan, padahal saya yakin tadi saya mengambil selembar dua ribuan. Saya melirik, dosen saya juga mengambil uang dari kantung bajunya, selembar sepuluh ribuan. Lalu dia berkata sambil menunjukkan uangnya, “Udah, ini aja.”

Saya tersenyum sungkan. Dibayarin? Enak sih, tapi... sungkan. Saya merogoh saku tas saya lagi, mengeluarkan selembar dua ribuan. “Nggak apa-apa kok, ada duit pas kok, Pak.”

Dosen saya menolak lagi, jadi saya menyerahkan uang saya padanya agar dia yang membayar jatah saya. “Udah, nggak usah. Dua ribu ini,” ujarnya enteng.

“Dua ribu juga duit, Pak,” timpal saya. “Kalau dijumlah-jumlah, ongkos saya seminggu bisa buat makan enak di restoran, Pak.” Saya nyengir, berharap dia membatalkan rencananya.

Namun, ternyata tidak. Begitu sampai di tempat tujuan, dia memang turun lebih dulu karena duduk di dekat pintu dan mengatakan sesuatu pada si supir angkot sambil menunjuk ke arah belakang, “Dua ya, Bang.”

Saya turun. Saya tersenyum padanya, “Makasih, Pak.”

Dia membalas senyum saya.

Setelah mengucapkan 'hati-hati', saya pamit pulang karena arah pulang kami berbeda. Dia ke kanan, saya ke kiri.

Di perjalanan pulang, saya mendapat konfirmasi dari teman saya bahwa dia telah mengirim fax untuk media tersebut. Namun, detik itu juga saya sadar. Saya lupa mencantumkan nomor yang bisa dihubungi untuk konfirmasi jadwal wawancara. Oh, tidak, lagi-lagi masalah!

Saya buru-buru membalas SMS teman saya dan mengatakan kondisi tersebut, tapi lama saya tidak mendapat balasan darinya. Saya menduga, dia sedang dalam perjalanan pulang. Namun, SMS saya baru dibalasnya pukul sembilan malam. Intinya, besok kami harus menelepon pihak media tersebut.
Akhirnya kami mendapat balasan dari pihak media tersebut bahwa narasumber kami sedang sakit. Jadi, kami perlu menunggu untuk mendapat konfirmasi lewat nomor teman saya.

Hari Kamis pagi itu, saya mendengar kabar baterai ponsel teman saya sekarat. Entah kenapa, saya mendapat firasat, kemudian saya memintanya untuk menyalakan SIMnya sebelum pukul dua belas. Benar saja, begitu nomornya aktif. Ada beberapa SMS dan telepon masuk. Teman saya meminta izin pada dosen saya, dan menerima telepon itu. Pihak media itu meminta kami datang pukul setengah empat sore.

Saya terpanjat. Hari ini? Setengah empat sore? Kami bahkan belum merampungkan pertanyaan. Pertanyaan baru dibuat asal kemarin karena menunggu sekertaris Kaprodi saya makan siang. Namun, apalagi yang bisa kami perbuat? Kami meminta izin pada dosen yang kebetulan dosen favorit saya itu a.k.a pemberi tugas ini. Begitu izin didapat, kami segera menuju ke lokasi.

Sebetulnya, lokasinya tidak begitu jauh dari rumah saya, masih satu kabupaten. Masalahnya, kami 'disesatkan' oleh petugas bus hingga kami berada di arah yang berlawanan dengan kantor media tersebut. Dengan segan, kami menghubungi narasumber kami. Wawancara pertama dengan menjunjung etiket tepat waktu ludas sudah. Untunglah, narasumber kami mau menunggu hingga kami datang.

Wawancaranya sendiri pun sebenarnya tidak berjalan dengan mulus. Oke, mulus sih, tapi topiknya melebar ke mana-mana. Bayangkan, rekamannya sampai 1 jam dan 49 menit! Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami akan mentranskrip dan membuat tugas ini. Terlepas dari itu, kami hampir mendapatkan informasi yang ingin digali.

Benar-benar perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkan tiga lembar profil media.

Comments

Popular Posts