Puzzle

Saat membeli puzzle, kita akan mengacaknya dan menyusunnya kembali jadi satu kesatuan yang utuh. Ada kebanggaan tersendiri kalau kita berhasil meletakkan puzzle itu pada tempatnya dengan waktu yang relatif cepat.

Kini, aku tengah menyusun puzzle itu. Aku pikir, aku hampir berhasil menyelesaikannya, tapi ternyata tidak.

Kau bertanya padaku, "Kau yakin, kau telah meletakkan di tempat yang tepat?"

Aku kembali meragukan diriku sendiri, dan bertanya, "Kenapa kau berpikir demikian?"

Kau hanya mengangkat bahu, kemudian berlalu. Meninggalkan aku dengan seribu pertanyaan yang tak terjawab.

'Bagaimana kau tahu bahwa bukan itulah pasangan puzzle yang tepat? Lalu, bagaimana aku tahu, aku meletakkan potongan puzzle yang salah? Di mana? Yang mana? Kenapa?' Itu tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kemudian, aku mencari tahu alasan pendapat kita berbeda, dan bagaimana mengatasi perbedaan itu. Semakin aku cari tahu, semakin aku dikejutkan dengan penemuanku. Bahwa, doronganku untuk mencari tahu adalah bentuk ego yang begitu tinggi. Aku ingin membuktikan bahwa aku merasa benar, dan kaulah yang salah. Jadi, kau tidak berhak menyalahkanku, lalu pergi dengan semua alasan yang kau simpan sendiri. Sebab, aku tak terima menjadi 'korban' sehingga aku perlu 'menang'.

Semakin aku menggali, semakin aku tidak tahu. Bahwa apa yang aku yakini adalah benar, kini tidak lagi. Ketika aku lihat puzzle itu dengan penemuan yang tersimpan rapi di otakku, diam-diam aku mengiyakan bahwa apa yang kau katakan benar. Diam-diam aku mengakui bahwa telah lama aku tahu ada yang salah, tapi tak tahu yang mana, lalu membiarkannya begitu saja. Mungkin diam-diam juga aku berharap ada yang bilang padaku, kalau aku meletakkan sesuatu yang salah.

Tapi saat kau bilang begitu, reaksi naluriahku adalah defensif. Bagaimana caranya aku bisa menerima pendapat orang lain yang bilang yang aku lakukan itu salah dengan lapang dada? 

Rasanya seperti kelopak mata yang disentil pakai gelang karet. Nyeri.

Tapi aku juga tahu, aku tak perlu menyalahkan diriku. Itulah aku yang sebenarnya. Aku hanya perlu menyadari dan menerimanya. Bahwa, itulah aku yang terbentuk dari semua yang ada di masa laluku. Dan, aku tak bisa mengutuknya. Sebab, masa lalu itulah yang membuatku sadar: lebih baik aku meletakkan ulang potongan puzzleku, daripada menyalahkan dunia ataupun dirimu.

Ketika aku tahu banyak potongan puzzle yang tidak cocok, pertanyaannya sekarang adalah: Potongan yang mana yang perlu diperbaiki terlebih dahulu? Haruskah aku buru-buru memperbaikinya agar aku tak lupa di mana letak potongan itu sebenarnya?

Mungkin seperti yang dikatakan temanku, aku terlalu lelah dengan semua penemuanku, dan mentalku telalu lelah dengan menyerap semuanya.

Aku hanya perlu meninggalkan potongan-potongan puzzle itu sementara. Tidak memikirkannya. Mungkin itu lebih mudah daripada memikirkan solusi yang tepat. Aku tahu itu juga tidak mudah. Sebab, aku diriku ingin secepatnya memperbaikinya. Tapi itu tidak mengecilkan niatku untuk bertekad.

Aku ingin meninggalkan puzzle ini. Hari ini. Di sini. 

Setelah hari ini, aku akan mencoba untuk memikirkan hal-hal yang lain. Kalau nanti aku memikirkan puzzle itu, aku hanya perlu menyadarinya, tanpa membiarkan puzzle itu 'berpetualang' di otakku. 

Aku ingin bisa berusaha semampuku untuk meletakkan semua puzzle itu di sini.

SEMANGAT!!

Comments

Popular Posts