Teruntuk diriku sendiri dan dirimu yang ada di sana,

Berhadapan denganmu seperti melihat diri di masa sekolah saat pemeriksaan kuku. Rasanya seperti memberi sepuluh jariku pada guru yang akan tahu apakah aku sudah memotong kuku atau masih banyak kuku yang panjang. Penilaiannya hanya dua, sudah potong atau belum potong.

Jauh sebelum kau menilaiku bahwa aku belum 'potong kuku'. Aku sudah menyadarinya, ada kuku yang masih panjang, karena aku tidak bisa memotongnya. Jadi, aku takut. Aku takut kau menyadarinya, dan akan memberi tatapan sadis, "Lihat, kukumu masih panjang!"

Ya, penilaiannya telah dilakukan. Dan, aku sudah ketahuan belum 'potong kuku'. Tapi aku juga tahu, kalau situasinya dibalik, kalau aku jadi gurunya, aku akan bilang yang sama padamu.

Mungkin... mungkin kita sama-sama takut. Bahwa, kita tahu satu sama lain belum beres 'memotong kukunya'. Kita terlalu takut dihakimi. Jadi, secara sadar atau tidak, kita berusaha menarik diri agar tidak dihakimi.

Atau, hanya aku yang mendorongmu pergi, karena aku ingin menyelesaikan acara 'potong kuku' ini? Kalau aku yang mendorongmu pergi, dan bukan kita yang saling menarik diri, aku minta maaf. Sebab, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya padamu.

Tapi tidakkah kau tahu bahwa ada 'kukumu' yang masih panjang? Tanpa bermaksud mengguruimu, aku tahu ada sesuatu yang menyebabkan kau belum rela menggunting kukumu.

Bagiku, tak ada perlu penyesalan. Kita memang mungkin saling menghakimi, tapi kita perlu tahu, ini demi kebaikan diri kita sendiri. Semua ini terjadi memang karena harus terjadi. Tak perlu ada pembenaran, tak perlu ada kekecewaan.

Kita hanya perlu menerima yang ada. Bicara pada ketakutan kita. Merangkul ketakutan kita. Berterima kasih padanya. Memintanya untuk menerima kasih, agar dia mau pergi dengan kedamaian, dan bukan dengan dendam. Dan, jangan malah memuaskan ego kita dengan bersikap menyalahkan dunia atas ketakutan kita.

Dia sudah terlalu lama berada dalam diri kita. Kita sudah bosan dengan dia, tapi dia enggan pergi. Bukan karena telalu lama sehingga sulit diusir, tapi kita tak perlu mengusirnya. Kita hanya perlu menerima diri kita yang sekarang untuk menghadapi ketakutan itu dengan cara yang berbeda.

Ada yang bilang padaku, kalau kau menghadapi ketakutan atau luka masa lalumu masih dengan cara yang sama, mungkinkah ada perubahan? Dan, kalau kau masih melakukan cara yang sama, berarti kaulah yang membuat luka itu nyata di kehidupanmu saat ini. Itu bukan ketakutan atau luka masa lalu, tapi masa kini. Kalimat itu begitu menohokku. Kita perlu cara baru untuk menghadapinya.

Kita mungkin tidak menyadarinya, tapi alam bawah sadar sering kali menuntun kita untuk melakukan sesuatu untuk menghindari ketakutan. Itu bukan hal yang salah. Itu hanya karena kita tak mampu atau tak mengerti bagaimana menghadapinya. Kita masih terlalu muda.

Sakit. Sakit begitu aku tahu, selama ini aku menghindarinya. Sesuatu yang aku pikir telah selesai, tapi tak pernah akan selesai, karena aku tidak tahu aku menghindarinya.

Aku telah belajar bahwa tak apa kita merasakan sakit. Itu manusiawi. Sangat manusiawi. Kita tidak perlu menjadi super hero setiap saat. Kita tidak perlu membuktikan pada dunia bahwa kita telah melewati banyak hal sehingga kita ada di sini, dan setengah mati menolak untuk menelusuri masa lalu. Kita terlalu defensif akan ketakutan itu. Karena sakit pasti akan terasa kembali.

Sebenarnya, kita tak perlu menyakinkan siapapun. Kita tak perlu membuat dunia kagum dengan prestasi kita. Kita tak perlu merasa tidak nyaman dengan semua ketakutan yang kita simpan rapat-rapat. Kita tak perlu takut untuk membuka album yang lama. Cukup kita. Cukup kita yang memaafkan diri kita sendiri. Memaafkan diri sendiri tidak semudah kedengarannya.

Sebab, kita terlalu lama hidup dalam asumsi negatif kita bahwa kita memang pantas mengalami itu. Dan, dengan menyakini itu, kita akan kesulitan menemukan bagian dari kita yang bisa dicintai orang lain.

Mencintai diri sendiri adalah kebahagiaan untuk diri kita sendiri. Mengetahui kesedihan adalah bagian dari mencapai kebahagiaan, agar lebih menerima dan mencintai diri sendiri. Dengan pemenuhan cinta, menghargai dan menghormati diri sendiri, kita akan lebih mudah mencintai orang lain. Jadi, kita akan sulit mencintai orang lain, karena batasan-batasan yang telah kita buat sendiri sehingga apa pun yang dilakukannya untuk mencintai kita terasa salah.

Jadi, mulai hari ini, aku ingin memaafkan diriku sendiri. Berterima kasih pada diriku sendiri. Menghargai semua perjalanan, keputusan, dan hal-hal yang lainnya yang mendorongku untuk menulis di sini.

Praktiknya tak pernah mudah. Tapi sebagaimana yang aku percaya, ketika kau menginginkan sesuatu, alam akan berkonspirasi untuk membantumu. Kau hanya perlu cukup sadar siapa, kejadian apa, atau lewat apa alam akan membantumu melewati ini semua.

Aku percaya akan diriku sendiri yang telah melewati banyak hal hingga saat ini akan tetap bisa bertahan dan mencintai diriku sendiri tanpa syarat.

Comments

Popular Posts