The Art of Letting Go

Letting go bukanlah melepaskan cinta.

Letting go adalah melepas kebiasaan lama kita untuk mencintai. Bahwa kita tak lagi terikat pada konsep cinta yang sebelumnya pernah melekat pada diri kita. Bahwa kita tidak lagi terikat pada bagaimana mengekspresikan cinta seperti sebelumnya. Bahwa kita tidak lagi terikat pada bagaimana kita harus 'berjuang' dalam cinta seperti dulu. Bahwa kita tidak lagi terikat pada situasi yang mendikte kita untuk menangisi masa lalu. Bahwa kita tidak lagi terikat pada orang yang sama dengan cara yang sama.

Bahwa melepaskan keterikatan itu semua adalah bagian dari mencintai.

Sebab, mencintai dengan batasan-batasan bukanlah mencintai dengan tulus. Itu adalah cinta yang dikuasai oleh rasa takut.

Saya tak ingin mencintai dengan ketakutan. Mencintai dengan ketakutan hanya akan membuat semua yang ada tampak semu. Selalu ada kecurigaan, selalu ada rasa cemburu tak berlogika, selalu merasa diri sendiri tak cukup baik untuk menerima cinta, selalu merasa perlu berubah menjadi lebih baik demi orang itu.

Saya tak ingin lagi bermain cinta yang diliputi ketakutan.

Sebab, sejak awal, saya tahu, mencintai itu membutuhkan keberanian. Keberanian untuk mencintai diri sendiri. Keberanian untuk melakukan perjalanan untuk 'menjemput' cinta. Keberanian untuk mengakui perasaan sendiri. Keberanian untuk mengungkapkan perasaan sendiri. Dan, keberanian untuk melepaskan orang yang dicintai.

Melepaskan orang yang dicintai bukanlah menyerah pada perasaan cinta. Melepaskannya berarti kita memberi kebebasan pada cinta. Kita memberi kebebasan pada diri kita sendiri bagaimana kita bisa kembali menjalin hubungan pada diri kita sendiri. Hubungan yang sering kita lupakan, karena terlalu sibuk pada hal-hal material, juga hati yang penuh akan cinta untuk orang lain daripada mencintai diri sendiri. Sekaligus, kita memberi kebebasan padanya untuk menjalani hidupnya tanpa kita sehingga ia juga akan kembali pada dirinya sendiri.

Dengan memberikan kebebasan untuk menikmati kesendirian dengan bahagia, kita akan melihat cinta dengan sudut pandang yang berbeda. Bahwa cinta yang sesungguhnya tak akan mengikat. Justru ada kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan, ketika kita melihat orang yang kita cintai bisa bahagia tanpa kehadiran kita. Bahwa ia tidak dirundung kesedihan, itu saja cukup.

Mencintai itu bukan keserakahan untuk memiliki. Namun, bukan berarti tak memiliki bukanlah mencintai. Tanpa memiliki, itu juga mencintai. Mencinta tanpa mengharapkan kembali. Bukankah itu yang selalu kita dengar?

Bicara mudah, menjalaninya sulit!

Oh, ya, tentu saja.

Kita tak pernah bisa melepaskan cinta yang dipenuhi ketakutan, kalau kita tidak berani melepaskannya. Kita tidak pernah bisa melepaskan keinginan memiliki cinta, kalau kita tidak berani mencintai diri kita sendiri. Kita tidak tidak pernah bisa melepaskan kebiasaan lama kita mencintai seseorang, kalau kita terlalu takut untuk mempercayai perubahan.

Bukan berarti kebiasaan lama itu salah. Hanya saja, kita perlu memisahkan 'cinta' dan 'takut'.

Sekarang begini, bagaimana kita bisa mencintai kalau kita takut mencintai orang lain? Karena kita terlalu takut untuk disakiti. Karena kita terlalu takut untuk menerima orang lain di sisi kita. Karena kita terlalu takut untuk menerima cinta--bahkan hanya sedikit.

Sudah jelas bukan, bahwa kita perlu memisahkan dua kata itu?

Saya tidak bilang bahwa mencintai itu harus berani melawan rasa takut. Rasa takut bukan harus diperangi. Rasa takut perlu 'dielus' dengan cinta. Dengan begitu, ia akan pergi dengan kerelaannya sendiri. Tanpa paksaan.

Menghadapi ketakutan bukan meredamnya ke lubang yang paling dalam dari diri kita, tapi menghadapinya dengan sesuatu yang kita tahu. Tak perlu menyuburi ketakutan dengan asumsi, persepsi, atau penilaian. "Saya memang penakut sih." atau "Saya mah tidak pernah bisa maju, soalnya saya..." atau "Saya udah coba, tapi nggak bisa." atau "Saya memang nggak bisa, ah."

Takut hanya perlu dimaklumi. "Oh, saya punya rasa takut. Wajar, ya, saya takut."

Setelah itu, kita hanya perlu mengidahkan rasa takut itu dengan berani mencoba sesuatu yang baru untuk menghadapinya. Tanpa perlawanan, tapi secara halus, dengan cinta. Tak perlu terlalu berusaha terlalu keras pada diri sendiri, itu bukan cara kerja untuk melawannya. Hadapi tanpa berharap akan hasilnya, dan percaya apa pun prosesnya pasti akan membawa kita ke arah yang lebih baik.

Nanti ada saatnya, kita akan melepaskan rasa takut untuk tidak memiliki. Dan, momen itulah yang saya percayai sebagai momen melepaskan diri kita yang lama, sehingga kita akan menjadi the better version of ourselves.

Nantinya ada saatnya, kita akan berani mencinta tanpa harap kembali. Dan, momen itulah yang saya percayai sebagai momen melepaskan kebiasaan mencintai yang lama, sehingga kita akan 'menjemput' cinta yang baru.




Comments

Popular Posts