Happy June!

Juni, bulan yang spesial untuk pernikahan, karena dikenal dengan istilah 'June Bride'. Menurut sejarah, nama bulan Juni diambil dari nama dewi pernikahan yang bernama Juno. Kepercayaannya adalah jika ada yang menikah pada bulan Juni, maka akan pasangan itu hidupnya akan makmur dan bahagia.

Saya tak tahu ini kebetulan atau disengaja, tapi bulan ini juga bulan bersejarah bagi kedua orangtua saya. Tepat pada hari ini 24 tahun yang lalu, mereka mengikat janji pernikahan.

Namun, tak seperti mitos 'June Bride' yang menyatakan pasangan akan happily ever after ala dongeng itu, kedua orangtua saya menunjukkan bahwa pernikahan perlu usaha keras untuk mencapai kebahagiaan.

Saya ingat, ketika diwawancarai Alvin Adam, Nadya Hutagalung, seseorang yang digambarkan media sebagai penggiat lingkungan yang tetap berdedikasi sebagai ibu dan istri, mengatakan, "Saya pikir, saya masih berusaha untuk bahagia."

Dari jawaban itu saya menangkap bahwa bahagia bukanlah sebuah tujuan. Kehidupan berumah tangga bukanlah untuk mencapai kebahagiaan, tapi bagaimana dua individu mempertahankan kebahagiaan.

Perjalanan rumah tangga orangtua membuka mata saya untuk meninggalkan konsep cinta ala dongeng. Tak ada pangeran juga tak ada kebahagiaan selama-lamanya (tanpa usaha).

Namun, ada sebuah kisah fiksi yang ditulis salah satu penulis favorit saya, Ika Natassa bisa jadi satu-satunya alur cerita pernikahan yang 'lebih membumi' yang pernah saya baca. Ika Natassa merangkum cerita pernikahan antara Alexandra dan Beno dalam buku "Divortiare, Twivortiare, dan Twivortiare 2". Di sini Ika yang masih lajang mampu menggambarkan kehidupan rumah tangga dengan perspektif perempuan modern, dan saya pikir itulah yang dibutuhkan bagi perempuan-perempuan di masa kini.

Ika menjelaskan kehidupan percintaan yang kompleks antara Alexandra yang sibuk berkarier, sementara suaminya, Beno juga sibuk berdedikasi sebagai dokter bedah jantung di sebuah rumah sakit. Dua pribadi yang sama-sama mandiri belajar berkompromi, menerima kekurangan pasangan, juga akhirnya melepaskan ego masing-masing untuk merajut pernikahan kedua mereka. 

Dari sekian banyak 'pembelajaran terselubung' (Ika menyebutnya, Point of View), yang paling mengena di benak saya adalah melepaskan ego. Buat saya, melepaskan ego adalah segalanya. Artinya, berhenti menuntut pasangan untuk mencintai kita seperti yang kita mau, juga menerima perbedaan gender dan karakter sehingga bisa belajar untuk mengerti, menghargai, mensyukuri apa yang sudah ada.
Just because someone doesn't love you the way you want him to, doesn't mean he doesn't love you with everything he has." — Twivortiare 

Sedikit banyak (atau banyak sekali, hahaha) pembelajaran tentang relationship didapat juga dari pemikiran penulis sekaligus pembicara dari Amerika, Bryant McGill. Pria ini menegaskan perlunya inner work untuk mencapai kebahagiaan dalam suatu hubungan.

Source: https://www.pinterest.com/pin/263882859391291375/

Source: http://bryantmcgill.com/daily-inspiration/p24

Oh ya, tak ketinggalan konsultan hubungan dan penulis, Margaret Paul yang juga mempunyai pandangan mirip dengan McGill terkait relationship. Margaret Paul secara khusus menekankan pentingnya bertanggung jawab dengan diri sendiri dalam menerapkan cinta untuk diri sendiri. 

You are being self-responsible when:
  • You take care of your own feeling, wants, desires and needs rather than expecting others to take care of you.
  • You support others in doing what brings them joy, even when they are not doing what you want them to do.
  • You show caring toward others for the joy it give you rather than out of fear, obligation or guilt.
  • You have the courage to take loving action in your own behalf, even if someone gets angry with you. For example, you go to bed early because you are tired, even if your partner gets angry at you for not watching a movie with him or her.
  • You have the courage to speak your truth about what you will or will not do, and what you do or do not feel, rather than give yourself up to avoid criticism, anger or rejection.

Memang McGill dan Paul berbeda latar belakang, tapi mereka mengingatkan untuk menjalin hubungan dengan diri sendiri demi kesuksesan hubungan dengan orang lain. Kita perlu belajar mandiri untuk membangun mental dan fisik yang sehat: belajar memaafkan diri sendiri, orang lain, situasi; konsisten berpikir positif; hidup di masa kini. Intinya, berdamai dengan diri sendiri sebagai pondasi hubungan yang sehat dengan orang lain.

Begini kata Paul:
  • Moving into compassion for yourself starts with noticing your self-judgment. Judgment is the opposite of compassion. When you judge yourself, you are telling yourself that you are wrong or bad for your feelings or behavior, rather than that you have good reasons. Each time you realize that you are judging yourself, consciously open your heart to compassion for yourself. When your intention is to be compassionate rather than judgmental, you will discover that it is not as hard as you think to shift from judgment to compassion.
  • Moving into compassion for others is similar. Begin to notice your anger, irritation, judgment, resentment, or resistance toward others. These negative feelings are the opposite of compassion. Once you notice these feelings, you have the choice to open to caring, understandingto compassion.
  • Each time you find yourself judging yourself or others, instead of judging yourself for judging yourself, move into compassion for the judgmental part of you. If you judge yourself for judging yourself or others, you will stay stuck. If you embrace with compassion the judgmental part of yourself, you will find yourself gradually becoming less judgmental and more compassionate.

Menyerap pandangan kedua orang hebat itu membuat saya optimis tentang relationship. Bukannya tak mungkin happily ever after, tapi bagaimana membahagiakan diri sendiri sehingga pernikahan bisa indah seperti di dongeng itu. Membahagiakan diri sendiri artinya memenuhi diri sendiri dengan cinta. 

Bukankah katanya cinta adalah alasan yang tepat untuk mengikat janji suci itu? Baik Ika Natassa maupun orangtua saya telah menunjukkan hal itu dengan sangat nyata. Bahwa, cinta sejati (I still believe that! :P) adalah seseorang yang membuatmu bertumbuh menjadi orang yang lebih baik.

"You know you're in love with the right person when falling in love with him turns you into the best version of yourself." — Twivortiare 2

Happy June!

Comments

Popular Posts