Mencari Kesunyian

Ada kalanya ketika kita mencicipi sesuatu, rasanya tak lagi sama seperti pertama kali kita merasakannya.

Paling mudah dianalogikan seperti makan makanan yang biasa kita konsumsi. Kalau lidah kita terlalu terbiasa menyerap suatu rasa dari makanan, lalu mendadak kita berhenti memasukkan makanan itu, sampai tiba suatu saat kita putuskan untuk mengonsumsi makanan itu, nantinya pasti ada sesuatu yang berbeda. Bahwa, rasa yang tadinya begitu nikmat, sekarang lidah kita tak bisa lagi mengirim sinyal sama.

Saya perlu waktu yang cukup lama untuk menerima bahwa kadang-kadang hidup memang tak bisa ditebak. Terlalu lucu.

Saya berusaha menggenggam apa yang saya yakini sebagai sesuatu yang tak bisa dipisahkan dari hidup saya, tapi nyatanya kini... dia itu tak lagi seberharga itu. Saya mencoba menyelami hal itu, tapi hati saya selalu tahu bahwa dia tak lagi menjadi bagian utuh dari diri saya. Bahwa saya begitu utuhnya sehingga saya tak bisa memasukkan hal itu menjadi bagian dari hidup saya yang saat ini.

Namun, otak saya tidak terima. Saya mencoba untuk berkeras kepala. Berhari-hari saya mencoba untuk membaca fiksi, tapi tak ada yang bisa serap, bahkan hanya satu bab sekalipun. Padahal saya jelas tahu, dulu saya amat mengagumi penulis ini, tapi... entah bagaimana saya seakan menghindarinya, dan itu sepertinya adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Sementara, otak saya tetap mendikte saya dengan, "Kamu bisa coba baca lain kali." Bukannya senang untuk membaca, tapi seakan membaca fiksi adalah suatu obat yang perlu diminum kapan-kapan kalau kumat. Sesuatu yang tidak lagi bisa dinikmati sebagaimana saya dulu begitu menikmatinya.

Kenapa saya memaksa untuk membaca? Well, bagaimanapun juga saya perlu mengikuti perkembangan dunia fiksi. Sebagai salah satu calon penulisnya, (Sadhu, Sadhu, Sadhu) sudah sewajarnya saya membacanya, bukan?

Teman saya, Rheza, berkali-kali meminta saya untuk tidak terlalu keras pada diri saya sendiri. Dia percaya, saya bisa melalui dilema ini. Saya mengamininya.

Kira-kira dua hari yang lalu saya sempat membahas hal ini dengan teman saya yang lain, Karina, kemudian dia berkata begini pada saya, "Mungkin makin ke sini kayak kita mikir, udah bukan waktunya kita 'hidup dalam pemikiran orang lain', tapi kita harus nyari cerita kehidupan kita sendiri."

Seakan ada lampu yang menyala di kepala saya: Ting! Ah, ini dia. Mungkin ini jawaban dari kegundahan saya selama beberapa bulan ini.

Saya mulai merenungi kalimat Karina. Dan, tadi pagi saat saya tengah melakukan ritual Dana Makan, saya sadar, saya tengah menyelami diri sendiri... kemudian, sebuah pemikiran memasukki kesadaran saya. Dia berbisik, "Kamu bisa mulai melepaskan mimpi saya sebagai editor."

"Kenapa?" Saya bertanya.

"Bukankah menjadi editor fiksi itu akan menyibukkan pikiran dan mengacak-acak emosimu? Bukankah itu juga yang membuatmu kesulitan menikmati fiksi lagi? Lalu, jika kamu tidak lagi bisa menikmati fiksi, lantas untuk apa menjadi editor fiksi? Tentu itu hanya membuatmu menderita."

Ah. Begitu rupanya.

Pikiran dan batin saya masih mencari kesunyian...

Mungkin ada masanya apa yang kita inginkan, tidak lagi kita butuhkan. Dan, apa yang kita butuhkan juga nantinya akan hilang juga. Dan, di saat itulah... kesunyian itu hadir, nyaris tak terjamah.



Source Image: http://bryantmcgill.com/20140710014059.html

Comments

Popular Posts