Acceptance

 
Source: Pixabay
Kemarin seseorang yang baru saya kenal bertanya sesuatu yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya, "Apa kebiasaan burukmu?"


Hmm, saya tak pernah terpikir ada orang yang menanyakan ini pada saya. Teman-teman terdekat biasa menyimpulkan sendiri apa kebiasaan saya, yang kadang-kadang malah mengejutkan saya. Misalnya, ada teman SMA saya yang menyimpulkan saya selalu menyimpan beberapa lembar rupiah dalam nominal cukup besar dalam dompet. Namun, hari itu dia takjub karena saya bilang, saya belum mengambil uang di ATM.

Back to topic. Kebiasaan buruk itu ditanyakan, katanya, "Sebaiknya kita menerima kebiasaan buruk orang lain. Anggap saja, kebiasaan yang baik itu hanyalah bonus."
“As we let go, we have to let come. This requires an awareness of being that keeps us rooted to the present. We must always remain in the present.” — Desi Anwar
Saya pikir, pernyataan ini sama dengan apa yang kita alami dalam sebuah hubungan. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang akhirnya berakhir memiliki sebuah ikatan baru dengan dirinya, kita tetap perlu menjaga kesadaran untuk hidup dalam masa kini.

Betul, kita hidup penuh dengan patah hati atau kekecewaan, tapi itu sama sekali tak mendefinisikan kita yang ada saat ini. Kita hanya 'dibentuk' oleh masa lalu, tapi tentu saja kita tak boleh membiarkan ia membuat kita lupa untuk menginjak kekinian.

Seseorang spesial itu tadinya akan berbuat manis, tapi pada akhirnya kita belum tahu. Seseorang yang saya kenal divonis depresi karena dia mengharapkan suaminya memperlakukan dia seperti dulu. Well, kita tak bisa menyalahkan sang waktu ataupun si suami yang kini telah menginjak usia tua, yang perlu kita sadari adalah perubahan itu nyata adanya.

Banyak sekali cerita momen pendekatan lebih indah daripada menjalani hubungannya itu sendiri. Itu karena kita mencampuradukkan apa yang ada dalam interpretasi kita dengan masa lalu juga masa kini.

'Dia dulu begini, dia sekarang begini'.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa mengenal orang lain itu butuh waktu seumur hidup. Saya setuju dengan pernyataan ini. Bagaimanapun seiring waktu diri kita juga ikut berubah, apalagi orang lain.

Apa yang saya dapat dari 'Guru spiritual' saya, Ajahn Brahm adalah menerima. Penerimaan itu pahit, kadang-kadang. Sebab, penerimaan itu berarti kita perlu menerima apa pun situasi yang ada: baik ataupun buruk.

Beliau mengajarkan untuk membuat dua list tentang kebaikan dan keburukan seseorang. Ia meminta kita untuk merobek list keburukan itu sehingga apa yang kita lihat hanyalah hal-hal yang positif saja. Itu mengingatkan kita akan alasan mengapa kita mencintai orang itu.

Saya kira, itu cukup untuk membuat kita menerima keburukan orang lain.

Praktik tak semudah yang diucapkan, tapi itulah hidup. Yang lempeng-lempeng saja nggak seru, kan? :p

Comments

Popular Posts