Ribetnya Bermedia

Kurangnya Filter Informasi dari Masyarakat
Pada dasarnya, media itu tujuannya menyebarkan informasi. Hanya kadang kita seringnya nggak menganalisa beberapa media untuk melihat sebuah kasus. Ini bukan salah siapa-siapa, kita aja yang terlalu males buat melihat beberapa berita sekaligus. Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' oleh media tertentu.

Ya, sebaiknya sih cermati media-media mana yang biasanya memberitakan informasi yang terpercaya.

Intermessooo~

Kata 'dibohongi' belakangan lagi naik daun. Hmm, ada nggak sih perbedaan antara kedua kalimat ini?
Kalimat 1: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' media tertentu."
Kalimat 2: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' oleh media tertentu."
Buat saya sih, nggak ada bedanya secara maknanya. Intinya, bukan penghilangan kata sambung 'oleh' tapi adanya penekanan pada kata 'dibohongi'.

Contoh ekstremnya, saya punya media namanya Media Bahagia. Temen saya punya media namanya Media Sedih. Terus diaplikasikan sama kalimat tadi.
Kalimat 1: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' Media Bahagia."
Kalimat 2: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' oleh Media Bahagia."
Kalimat 3: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' Media Sedih."
Kalimat 4: "Jadi, wajar kalau suka 'dibohongi' oleh Media Sedih."

Masyarakat yang udah percaya sama Media Bahagia bakal sakit hati karena kalimat 1 dan atau kalimat 2. Nah, pendukung Media Sedih bakal kecewa dengan kalimat 3 dan atau 4. Apakah itu karena kata 'oleh'? Apakah kata 'oleh' berperan penting bikin masyarakat sakit hati? Seharusnya sih... nggak. Soalnya maknanya tetap akan sama dengan atau tanpa kata penghubung yang dalam konteks ini adalah 'oleh'.

By the way, ini saya nggak pengin memihak pada kubu siapapun. Saya cuma pengin jelasin dari cara pandang saya. Saya merasa permasalahan kalimat yang populer itu bukan pada penghilangan kata hubungyang saya nggak tahu apakah secara sengaja atau tidak sengaja dihilangkandilakukan oleh oknum itu. Masalahnya itu, pada pemilihan diksi 'dibohongi' pada kalimat itu. Soalnya, buat saya, mau dihilangkan atau nggak, maknanya sama aja. Malah, justru dengan kata 'oleh' memperkuat diksi 'dibohongi'.

- Intermesso end -

Adanya Konstruksi Media
Dalam teori media, berita itu dibingkai atau di-framing oleh media sebelum disajikan kepada masyarakat. *Be Right Back ambil copasan dari.. ehem.. skripsi lol* Begini, pengertian framing dijelaskan oleh Eriyanto (2002: 66) sebagai pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.

Bagi masyarakat awam, mungkin mereka nggak sadar bahwa berita yang terjadi di berbagai media itu campur tangan berbagai pihak mulai dari pemangku kepentingan, pemilik saham, pemilik media, opini redaktur utama, opini redaktur pelaksana, opini jurnalis, termasuk bagaimana latar belakang berdirinya media, latar belakang budaya perusahaan, atau latar belakang si penulis (plus kepentingan politik oppsss).

Kata Bapak Framming Eriyanto, ada 2 aspek dalam framing. Pastilah sebelum jurnalis menulis berita bakal memilih apakah perspektif jurnalis bakal dimasukkin dalam berita atau nggak. Soalnya, bakal mempengaruhi gimana cara dia memilih angle berita atau fokus berita. Terus, pas menulis berita itu dia pakai pilihan katanya gimana, kalimatnya gimana, terus visual yang mendukung itu gimana.

Misal, ada peristiwa kebakaran di pasar. Media A, bakal fokus pada korban. Media B, bakal fokus pada akibat. Media C, bakal fokus pada penyebab. Media D, bakal fokus pada dugaan kesengajaan pembakaran pasar. Media E, mungkin akan merangkul semua informasi mulai dari korban, akibat dan penyebab kebakaran. Media F, bakal mempertanyakan adanya dugaan kesengajaan pembakaran pasar. Media G, bakal menyalahkan pemberitaan media D karena ternyata nggak ada unsur kesengajaan

Kenapa bisa beda-beda? Ya, soalnya setiap media melihat peristiwa itu berbeda-beda karena campur tangan yang udah dijelasin tadi. Bener nggaknya ya kita mesti pinter-pinter lihat media mana yang meliput dan bandingin sama media lain yang biasa juga meliput beritanya terpercaya. Terus, inget kalau berita itu lahir lewat banyak campur tangan. Jadi, biarpun beritanya terpercaya, kita ngerti kenapa si media yang pemiliknya punya jabatan politik, terus memberitakan partai politiknya. Jelas, buat dikenal sama masyarakat toh.

Saya ngomong panjang lebar gini, mau kasih gambaran soalnya permasalahan video yang dipotong itu buat saya bukan karena transkripnya (saja) tapi karena unsur lain yang diusik, yaitu pemotongan durasi. Pemotongan durasi itu kepentingannya buat menonjolkan rentetan kalimat yang udah sudah dipilih dan dipikirkan matang-matang (seharusnya).

Full Video
https://www.youtube.com/watch?v=N2Bn5JKTGkI
(23:40 - 25:18)

Video yang di-cut:
https://www.facebook.com/buniyani/videos/vb.1073947287/10209014478373850/?type=3&theater

Source Image: pexels.com
Dari video yang lengkap, kita bisa melihat bahwa Pak Gubernur lagi memberikan penyuluhan tentang adanya program koperasi buat warga di Kepulauan Seribu. Dan, kalimat yang dijadikan masalah itu, bukan main point. Program yang diusung Pak Gubernur ini bakal berjalan sampai masa jabatan dia berakhir pada Oktober 2017. Kalaupun dia nggak kepilih, programnya tetap berjalan. (I don't know kenapa bisa loncat ke topik ini, haha) Bisa aja warga 'dibohongi' (pakai) kitab suci, itu hak warga. Kalau nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, nggak apa-apa, panggilan pribadi warga itu. Tapiiiii program ini jalan aja. Pak Gubernur nggak pengin warga jadi nggak enak hati udah dibantuin program koperasi sama dirinya jadi terpaksa milih dia. Nggak suka sama Pak Gubernur, tapi ada program gini jadi hutang budi, jangan merasa gitu. Program ini hak warga DKI, kebetulan dia gubernurnya. Jadi, nggak ada hubungannya perasaan nggak enak mau pilih siapa.

Kalau video yang dipotong itu maknanya lebih kepada Pak Gubernur yang menyayangkan warga Kepulauan Seribu ada yang dibohongi pakai kitab suci, jadinya nggak bisa pilih dia. Kalau memilih 'dibohongi' (pakai) kitab suci dan takut masuk neraka, nggak masalah, itu panggilan pribadi. Tapiiiiiii, Pak Gubernur sangat menyayangkan pilihan itu, karena dalam nuraninya nggak pilih Pak Gubernur. Pembahasan program tetap berjalan akan mendapatkan tempat yang kurang penting di sini.

Tematik kedua video itu berbeda. Yang pertama, ngebahas program tetep jalan meski warga nggak pilih dia entah karena kitab suci atau takut masuk neraka. 

Video yang udah dipotong itu mengangkat tema, kalau merasa kitab suci itu bener ya itu pilihan masing-masing individu, tapi dia menyayangkan masyarakat nggak bisa pilih dia. Itu terlihat dari kalimat pembuka dan penutup video, kalau bisa dianalisis secara sintaksis sekaligus haha.

Pemotongan durasi itulah yang membuat saya beropini kalau isinya berbeda tema.

Namun, ini murni opini mantan anak jurnalistik aja kok. Nggak bermaksud bikin situasi makin memanas atau malah bikin permasalahan baru. Jadi, kalau masih berkoar soal pengurangan diksi silakan. Jadi, kalau mau nggak pilih gubernur yang dibicarakan ini tahun depan silakan. Jadi kalau nggak mau percaya lagi sama media silakan. Saya nggak punya tanggung jawab atas semua pilihan kalian hehehe :p

Comments

Popular Posts