Ada Tsunami

Source Image: Photo by Steven Erixon on Unsplash
Ketika dia jatuh, tidak ada yang bisa membuatnya bangkit, selain dirinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa berjuang sendirian itu bisa destruktif. Karena tidak ada orang yang bisa melawan tsunami, sendirian.
16 September 2018, 10.49 PM
Ketika itu tsunami menerjang. Dunianya luluh lantak. Dunia yang telah ditata dengan begitu penuh pernjuangan diri, lenyap ditiup angin. Dia yang terbiasa berjuang sendiri. Terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Terbiasa menyimpan pikiran dan emosinya sendiri. Terkesan tidak butuh orang lain. 

Tapi tsunami itu membuat hidupnya berubah—nyaris sulit untuk bangkit. Karena dunia tahu, yang bisa membuatnya bangkit bukanlah keluarganya, bukanlah teman-temannya, bukanlah doa-doa yang tak pernah putus. Tapi dirinya sendiri.

Dia tidak pernah tahu bahwa ada cara lain untuk bertempur. Dia hanya tahu, dia cukup menelan pahitnya luka untuk tetap bertahan hidup untuk keluarganya.

Saya mencoba membayangkan bagaimana dia melewati setiap luka dalam hidup. Bagaimana rasanya punya begitu banyak kekhawatiran, trauma, sakit hati, kekecewaan, kemarahan tapi tetap harus menghadapi orang yang sama? Tak pernah terbayangkan dalam benak saya.

Masih segar dalam ingatan saya, dia yang mengajak saya untuk memulihkan luka saya. Tidak hanya sekali, tapi tiga kali. Berkali-kali saya memintanya untuk terjun menyembuhkan lukanya, tapi dia kesulitan. Lamban laun luka itu semakin menganga hingga badai pun datang. Badai dihadapinya dengan penuh semangat, senyum dan harapan. Tapi... ketika tsunami datang, semuanya betul-betul hancur.

Kini hanya tinggal sorot mata yang kosong. Senyum yang dipaksakan. Hati yang hampa. Ingatan kini dan masa lalu berantakan. Bayang-bayang yang terlihat nyata, meski saya tahu itu tidak ada.

Meski saya tahu hanya dia yang bisa membangun dunianya yang telah retak, saya bukanlah orang yang dengan begitu mudahnya menyerah. Mudah-mudahan dia tahu.

16 September 2018

Comments

Popular Posts